HIV/AIDS masih menjadi hal yang “wow” di Indonesia bahkan di dunia. Banyak hal menarik yang dipelajari dari keberadaan HIV/AIDS dan bahayanya bagi kehidupan sampai akhirnya manusia harus berada pada satu situasi yakni “waspada”. Waspada dari kontak cairan tubuh penderita HIV/AIDS, namun tidak berarti harus menutup hubungan sosial dengan mereka. Hal yang kalau dibicarakan cukup simple, namun nampaknya masih ada rasa was-was untuk melakukan, alhasil penderita HIV/AIDS menjadi terkucilkan dari hubungan sosial bahkan mungkin saja mereka tidak dilayani di pelayanan kesehatan karena petugas kesehatan enggan dengan keberadaan dan bahaya HIV/AIDS yang diidap. Bahayanya adalah apabila seseorang yang berkecimpung di bidang kesehatan, seperti dokter, perawat, bidan, tenaga kesmas dsb, tidak menerapkan teori yang ada tentang HIV/AIDS dalam kesehariannya sebagai praktisi kesehatan. Apabila hal ini terjadi, maka pasti akan ada perawat atau dokter yang bisa terjangkit HIV/AIDS sebagai akibat dari errorness (tertusuk jarum suntik); atau mungkin akhirnya tidak mau menangani pasien HIV/AIDS karena takut dengan keadaan mereka yang akan membawa malapetaka apabila terjadi errorness.
Waspada juga bukan saja bagi para medis yang akan melakukan penanganan pada penderita HIV/AIDS, tapi juga bagi mereka yang memiliki perilaku seks berisiko. Bervariasinya gaya making love, orientasi seks yang menyimpang, kebiasaan jajan dsb, tentunya merupakan hal yang harus diwaspadai. Kondom pecah bisa saja terjadi pada mereka yang memiliki seks berisiko seperti kaum homoseksual, yang walaupun telah menggunakan kondom namun bisa saja kondomnya pecah dan berujung pada penularan kepada partner. Yang menjadi masalah adalah apabila hal tersebut terjadi, apakah mereka selalu melaporkan pada pihak terkait seperti dinas kesehatan, KPA atau RS yang menangani konsultasi HIV/AIDS untuk selanjutnya ditelusuri lebih jauh dan diproteksi dengan pemberian ARV? Hal ini, sedikit banyak terkait stigma yang menganggap bahwa ODHA adalah hina, jadi ODHA pun menarik diri dari hal-hal interaksi seperti ini. Alhasil HIV/AIDS terus meningkat salah satunya sebagai hasil dari keadaan ini.
Hal lain yang menarik dari HIV/AIDS adalah keberadaan ARV yang sekaligus menjadi momok bagi meningkatnya prevalensi HIV karena merasa terlindungi. Anal bisa saja dilakukan tanpa kondom, toh ada ARV juga kalau-kalau positif HIV. So, keberadaan ARV menjadi dua sisi mata uang yang berbeda, di satu sisi positif dan di sisi yang lain negatif. Kondom bukan lagi menjadi pilihan untuk mencegah penularan, dengan alasan “direct” lebih nikmat dan apabila terjangkit HIV masih ada harapan dengan meminum ARV untuk tetap survive.
Kembali ke masalah stigma terhadap keberadaan penderita HIV/AIDS. Tidak bisa dipungkiri stigma merupakan masalah yang terus menyertai HIV/AIDS dari dulu hingga kini. Di negara maju sekalipun stigma masih saja terus ada, dan tidak jarang menjadi alasan berakhirnya hidup ODHA. Stigma terkait beberapa hal, seperti kesemptan kerja, kesemptan sekolah ataupun kesempatan untuk makan di rumah makan, dsb. Diskriminasi masih saja terjadi yang menempatkan ODHA sebagai manusia kelas dua dan harus ditakuti bahkan dikucilkan dari hubungan sosial. Sehingga tidak jarang, vonis HIV/AIDS pada seseorang bahkan akan semakin memperpendek usia seseorang. Misalnya, seseorang datang berkunjung ke RS Sarjito dengan kondisi bertato, lalu si dokter menyuruh untuk tes HIV dan ternyata positif. Apa yang selanjutnya terjadi? Si pasien yang awalnya ingin memeriksakan dirinya karena telah diare berkepanjangan, eh ternyata menderita .HIV positif, lalu kemudian diikuti stress dan akhirnya menuju rel kereta api untuk mengakhiri hidup. Ada lagi hal menarik lain tentang fenomena HIV/AIDS bagi para pengguna narkoba dengan jarum suntik. Share jarum suntik telah terbukti sebagai faktor risiko bagi meningkatnya prevalensi HIV/AIDS. Bidang kesehatan tentu harus memperhatikan kasus ini dari sudut pandang kesehatan. Dalam artian bahwa, jarum suntik yang digunakan adalah harus yang baru dan steril. Lalu kemudian, Puskesmas ataupun klinik VCT pun menyediakan jarum suntik gratis yang bisa diakses dengan mudah. Namun, apakah kepolisian akan setuju dengan hal ini? Jawabannya pasti tidak! So, apa yang harus dilakukan untuk menurunkan prevalensi HIV/AIDS dari share jarum suntik? Bahkan tidak jarang ODHA kini enggan berkunjung ke klinik VCT karena takut dirasia oleh polisi yang secara tiba-tiba muncul dan memerisa apakah membawa Narkoba atau tidak.
HIV/AIDS : HANYA INGIN (V)UAS, tapi ingatlah bahwa ALLAH INGIN DUNIA SADAR….